Memoar Perintis Pers Kiri Nusantara

Marco Kartodikromo

Tradisi feodal sangat kental di kalangan masyarakat Jawa dan Nusantara. Dalam lingkaran itu pula mereka bisa disegani, berpengaruh dan mudah menjadi pemimpin. Namun Marco Kartodikromo atau akrab dipanggil Mas Marco menggoreskan cerita sejarah kehidupan dan perjuangannya yang berbeda. Lahir di golongan priyayi yang berpangkat rendahan tidak menjadikannya tetap jumawa akan kebanggaan statusnya sebagai darah bangsawan seperti pada umumnya saat itu. Kartodikromo menerbitkan novel berjudul Rasa Merdika yang menceritakan seorang pemuda yang bertentangan dengan ayah priyayinya sendiri karena menjadi alat pemerintahan Belanda, anak tersebut berusaha untuk mencari kemerdekaan pribadi. 

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/4/4a/Marco_Kartodikromo.jpg
Marco_Kartodikromo
Pertama ia bekerja di Nederlandsch Indische Spoorweg, perusahaan Kereta Api Nasional Hindia Belanda. Titik awal pemikiran progresifnya ketika ia semakin muak melihat perlakuan rasis dalam kebijakan yang ditunjukkan antara orang-orang Belanda dan penduduk Indonesia yang bekerja. Sampai kepada upah yang dibayar ditentukan oleh ras.

Ia kemudian pergi ke Bandung, dan bekerja di surat kabar Medan Prijaji yang dikelola oleh Tirto Adhi Soerjo. Namun surat kabar itu ditutup oleh Belanda. Ia kemudian hijrah ke Surakarta dan bergabung dengan Sarekat Islam untuk bekerja. Sejak itu haluan Marxismenya semakin kuat. Dunia jurnalis dan penulis digeluti kembali dengan memimpin sebuah majalah bernama Doenia Bergerak pada tahun 1914 yang sekaligus menjadi wadah para wartawan lokal pertama. Ketika menerbitkan tiga seri karya yang berjudul Mata Gelap, majalah Doenia Bergerak dan seorang tionghoa Surabaya bernama Tjoen Tjioe sempat bersitegang karena tulisan yang dirasa berbau rasisme.

Dalam judul Lenyapnya Tiket Di Peron yang dimuat di koran Doenia Bergerak, Mas Marco bersuara tentang hilangnya tiket hijau yang adalah untuk golongan pribumi secara tiba-tiba dan hanya menyisakan tiket kelas dua yang lebih mahal. Yang membuat lebih marah lagi adalah perlakuan diskriminatif terhadap pengantar penumpang kereta antara pribumi dan non-pribumi (Eropa dan Tionghoa).

Sekarang, seorang ayah Jawa, katakanlah begitu, tak dapat pergi masuk ke peron stasiun, dan terpaksa menunggu di tempat terbuka, di jarak yang aman dari stasiun itu … Namun!!! Kalau seseorang kebetulan tergolong keturunan Belanda atau Cina, ya, silakan masuk dan duduk di bangku, di dalam stasiun. Hmmm!! … Si bapak Jawa dijadikan seperempat manusia.

Mas Marco di Doenia Bergerak memulai perlawanan terhadap penasihat Belanda D.A. Rinkes dengan editorialnya mengenai kecintaan orang Belanda terhadap warganya sendiri dibanding warga-warga lokal yang dikuasai. Rinkes melalui Welvaartcomissie menjadi simbol bagi politik etis pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan Welvaartcomissie disingkat menjadi W.C. Gelar Doktor Rinkes juga dirujuk dengan kata doekoen. Sepenggal kritiknya seperti ini:

Manakah jang lebih ditjintai: badan sendiri atau badanja lain orang!! Saja sangat pertjaja bahwa leden W.C. itu djuga tjinta kepada orang2 ketjil, tapi masih terlalu amat tjinta diri sendiri. Marco pun terlalu tjinta dengan diri sendiri, dari itu dia selalu berteriak sadja, sebab kalau teriaknja itu dikabulkan dia djuga turut enak. Kalau saja pikir pandjang, leden W.C. seakan-akan Dokter (doekoen) umpamanja. Tetapi kita orang Bumi-putera, orang2 jang sakit sudah pajah. Siapakah jang lebih keras minta sembuh dari sakit? Dokter (doekoen) kah? Atau orang jang sakit kah? Sepandjang pendapatan saja, tentu sisakit jang amat keras minta hindar dari dari bahaja itu. Adapun Dokter (doekoen) hanja melakukan semestinja sadja, baik sisakit djadi sembuh baik tidak, itulah tergantung Tuhan punja kuasa, asal Dokter (doekoen) ta’ kurang gadjinja tiap-tiap bulan sudah tjukup. Lain rupa kalau jang sakit diri sendiri dan Dokternjapun diri sendiri.

Tulisan-tulisan yang sebelumnya belum pernah dilayangkan oleh orang lokal terhadap kehadiran pemerintahan Belanda di Nusantara. Akibat tulisannya, ia diperiksa oleh pihak penyelidik Kantor Kehakiman Hindia Belanda karena menerbitkan beberapa editorial anti-Belanda. Para wartawan di Doenia Bergerak menggalang dana untuk memprotes di pengadilan Den Haag, namun upaya tersebut gagal. Mas Marco dihukum penjara sembilan bulan karena aktivitas revolusionernya.

Karier selanjutnya ia menjadi pimpinan redaksi harian di  Pantjaran Warta. Sepulang dari Belanda sebagai koresponden, ia sempat dipenjara lagi karena tulisan-tulisannya. Setelah dibebaskan pada 21 Februari 1918, ia pindah ke Semarang menjadi komisaris Sarekat Islam bersama Semaun sekaligus bergabung dengan surat kabar Sinar Djawa yang sempat berganti menjadi Sinar Hindia. Ketika konferensi tahunan, ia berbicara tentang dua jenis pers di Nusantara kala itu. Yaitu Pers Hitam dan Pers Putih. Pers Hitam bekerja dan berisi untuk menaklukan imperialisme Belanda dan Pers Putih bekerja untuk menaklukan rakyat.

Di penjara karena tulisannya kembali menghampiri Mas Marco ketika ia bergabung dengan Soero Tamtomo yang diterbitkan oleh staf Serikat Kehutanan Wono Tamtomo. Salah satu tulisannya yang berjudul Sjairnja Sentot mengirimkannya kembali ke penjara selama enam bulan. Saat pindah ke Salatiga tahun 1921 dan bergabung dengan pers disana, ia dipenjara dua tahun lamanya karena tulisan-tulisannya.

Karya-karya lainnya adalah novel-novel yang ia tulis antara lain Studen Hidjo tahun 1918 yang menceritakan anak muda Indonesia yang sedang jatuh cinta ketika belajar di Belanda meskipun sudah memiliki tunangan di Indonesia.  Juga kumpulan puisi-puisi pada tahun yang sama berjudul Sjair Rempah-rempah (1918), Cermin Buah Keroyalan (1924), dan sebuah naskah drama Kromo Bergerak (1924). Dalam karya karya fiksinya, ia banyak menggambarkan pengalamannya ketika berada di Belanda. Ia menitik beratkan pada superioritas kulit putih yang ternyata kagum terhadap pribumi Nusantara dan menampilkan borjuis-borjuis dan pemerintah Belanda yang bobrok moralnya. Karya-karyanya bersifat lugu, naif, dan didaktis sehingga dapat dikatakan merupakan contoh awal dari aliran "realisme sosial".

Akhir langkah-langkah revolusionernya terjadi saat ia dibuang ke Boven Digoel, Papua tahun 1962 karena tulisan-tulisannya yang berkelanjutan dan keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda di tahun yang sama. Mas Marco tutup usia tanggal 18 Maret 1932 karena penyakit Malaria.

Pemikiran dan karya-karyanya semasa hidup banyak berbuah larangan oleh pemerintah Hindia Belanda. Selama kiprahnya di Doenia Bergerak,  Mas Marco oleh pemerintahan Belanda dianggap sebagai orang gila di zamannya karena apa yang ditampilkan sangat subversif kala itu dan dianggap memancing kerusuhan di kalangan penduduk lokal. Mas Marco menikmati untuk memancing kegaduhan di pemerintahan kolonial Belanda. Pembaca karya-karyanya diajak masuk untuk memikirkan polah tingkah pemerintah Belanda yang ditulisnya sebagai salah tingkah dan urus. 

Ia penulis Indonesia pertama yang melepaskan dari Hindia Belanda dan secara terbuka mengkritik pemerintahan kolonial Belanda sekaligus bentuk tradisi feodalisme yang mengakar kuat di Nusantara. Sebagai penulis pertama yang mengangkat tentang perjuangan-perjuangan kelas. Lewat tulisan-tulisannya, ia mengajak untuk membangun kesadaran politik bagi masyarakat lokal untuk kemudian bekerja melawan pemerintahan kolonial dalam solidaritas dan kesetaraan. Ia menggambarkan bagaimana sama rasa sama rata dibutuhkan untuk memahami keadaan sosial politik saat itu.



(Tulisan ini juga bisa dilihat di siperubahan.com)

Pustaka


  • ·         Marco. LenjapnjaTiket Peron. Doenia Bergerak vol. 1 no. 20 1915. Dalam Rudolf Mrazek. Engineers of Happy Land, Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. 2006. Jakarta: YOI.
  • ·         Marco. Pro of Contra Dr. Rinkes. Doenia Bergerak No. 1 1914. Dalam  Takashi Shiraishi. Op. Cit.
  • ·         "Mas Marco Kartodikromo". Encyclopedia of Jakarta (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Jakarta City Government
Previous
Next Post »
Thanks for your comment