Paradoks Budaya Timur dan Barat

Dikotomi "Budaya Timur" dan "Budaya Barat" sering kita dengar bahkan diucapkan ketika menilai barat (Eropa Amerika bahkan Australia). Setereotype negativ terhadap gaya hidup dan sosial juga kerap disematkan. Namun apakah benar begitu adanya?
--------------------------------------------------------------------------
Sebagai orang Indonesia, saya sangat akrab mendengar betapa kita dinilai sebagai bangsa yang ramah dan penuh senyum. Persepsi asing yang telah mengkristal, yang tanpa disadari kita akui kebenarannya.
Di sisi lain, telah tertanam pula sejak kecil bahwa bule atau ‘orang barat’ adalah manusia pemuja kebebasan, individualis-dingin yang bertolak-belakang dengan kehangatan timur kita.
Namun, berbagai fakta yang terjadi di hadapan mata ketika di Amerika, membuat saya bertanya, masih relevankah persepsi-persepsi itu? Apakah kita benar-benar ramah dan hangat? Saya yakin, tidak saya seorang diri yang mempertanyakan ini.
Semua bermula dari rangkaian kejadian sehari-hari.
Kutahan Pintu Untukmu
 
Di Amerika, kebanyakan pintu tidak memiliki kenop, tetapi hanya pegangan, sehingga harus didorong atau ditarik dengan tenaga ekstra karena cukup berat.
Ketika menuju ke berbagai gedung,orang Amerika yang terlebih dahulu masuk, biasanya menahan pintu tetap terbuka agar orang lain di belakangnya, termasuk saya, bisa ikut masuk.
Kejadian pintu ditahan terbuka ini, awalnya saya kira hanya kebetulan, tetapi ketika terjadi setiap hari di berbagai tempat dengan orang yang berbeda, saya tertegun dan malu sendiri karena tidak pernah melakukannya untuk orang lain.
Saya merasa sangat egois, karena seumur hidup jarang sekali hal ini dilakukan. Kalau masuk ruangan, ya masuk saja, buka pintu untuk diri sendiri. Meskipun awalnya agak canggung, tak ada cara lain untuk menghapus rasa malu selain melakukan hal yang sama pada orang lain.
Eskalator “Kiri-Kanan”
 
Keteraturan adalah salah satu perwujudan saling menghargai. Di Amerika, ini bahkan terlihat saat sedang menggunakan eskalator.
Di stasiun Metro, setiap badan eskalator seakan memiliki batasan semu, bagian kiri dan kanan. Sisi kanan untuk pengguna yang tidak terburu-buru dan sisi kiri bagi yang bergegas sehingga bisa terus bergerak.
Alhasil, siapapun yang terburu-buru tidak kesal jika orang di depannya tidak bergerak. Dan yang santai, juga tidak terganggu karena orang di belakangnya ingin memotong jalan. Mungkin terlihat sederhana, tetapi dari hal-hal kecil inilah keteraturan hidup sebuah masyarakat bermula.
Bising “Terima Kasih”
 
Ucapan terima kasih terdengar di mana-mana. Misalnya ketika turun bus, penumpang mengantri turun, lalu satu persatu menggaungkan terima kasih kepada supir. Rasanya tidak mungkin terjadi di Indonesia: bus langsung tancap gas, bahkan sebelum penumpangnya sempat menginjakkan kaki di jalan.
Budaya mengantri sendiri sudah mendarah daging, termasuk untuk hal remeh-temeh seperti antri berfoto di tempat wisata. Ini mereka lakukan dengan inisiatif sendiri, tanpa peraturan dan tanpa penjagaan.
 
Saya sempat mengurut dada ketika antri hampir setengah jam hanya untuk berfoto di lambang Las Vegas. Sempat terpikir, keadaan ini sudah berlebihan. Namun, jika semua orang seperti saya dan memutuskan berfoto di sudut mana pun yang mereka mau, kekacauan lah yang terjadi. Wajar, di Amerika jarang terdengar ada orang yang terinjak-injak atau pingsan sesak nafas karena mengantri.
Sapaan Semu?
 
Kehangatan juga menembus dimensi kata-kata. Telah menjadi kebiasaan di Amerika untuk bertegur sapa bertanya kabar ketika berpapasan, “How are you?” “I’m good, thanks?” bahkan dengan orang tak dikenal.

Saya sempat berpikir negatif, menuding ada kemunafikan di tengah kebiasaan ini. Semuram apapun kondisi hati seseorang, mereka cenderung menjawab “baik-baik saja”. Ini tidak jujur, apa gunanya?

Namun, lama-lama, ketika melaksanakan sendiri sapaan tersebut setiap hari, saya mulai mengerti bahwa budaya yang sangat sederhana ini memiliki makna filosofi yang dalam: betapa setiap orang selalu peduli dan siap menjadi pendengar cerita dan keluhan orang lain, bahkan yang tidak dikenalnya.

Selain itu, yang mungkin sudah sering kita dengar, setiap perpisahan berujung saling mengucap “Have a good day!” dan “You, too.” Kalimat yang jika direnungkan, dalam taraf yang berbeda, serupa dengan ungkapan Assalamualaikum-Wa’alaikum salam.

Silahkan Lewat
 
Di mana lagi tempat di bumi ini, mobil berhenti dan mempersilahkan pejalan kaki menyeberang di hadapannya terlebih dahulu?
Saya sangat akrab dengan jalanan Ibukota yang kadang terasa sangat brutal. Nyawa seakan dipertaruhkan di setiap langkah. Pengemudi mobil dan motor menjadi raja jalanan. Pejalan kaki termajinalkan.
Di Amerika, pejalan kaki bagai makhluk mulia. Seringkali ketika hendak menyeberang, saya berhenti karena ada mobil yang akan lewat. Tetapi yang terjadi kemudian, malah mobilnya yang berhenti dan mempersilahkan saya menyeberang.
Betapa orang menghargai satu sama lain, bahkan bisa dilihat saat menggunakan lift. Siapapun yang masuk lebih dulu, dipersilahkan keluar terlebih dahulu jika lantai tujuan sama, meskipun orangnya berdiri jauh dari pintu lift.
Manusia Setengah Dewa
 
Yang paling menyentuh adalah bagaimana Amerika memperlakukan orang-orang berkebutuhan khusus selayaknya manusia, yang berhak merasakan apa yang seharusnya mereka rasakan.
Di lapangan parkir, lampu rambu-rambu lalu lintas, toilet, jalan masuk ke gedung, kendaraan umum, bahkan bioskop, memiliki tempat bagi orang berkebutuhan khusus. Ini bukan untuk mengistimewakan, tapi agar mereka bisa menjadi manusia seutuhnya, memperoleh haknya terlepas dari apapun kekurangan mereka.
Saya semakin terkesima ketika tahu perhatian ini merambah dunia pekerjaan. Ketika membeli tiket film di bioskop, tidak jarang saya dilayani oleh seorang tuna-rungu atau petugas yang duduk di kursi roda.
Paradoks

Apa yang saya lihat sedikit banyak memberi jawaban, mengapa tidak sedikit orang Indonesia yang pernah tinggal atau mengecap pendidikan di luar negeri, tidak ingin kembali ke tanah air. Selain karena lapangan pekerjaan yang layak di luar negeri, kenyamanan dan rasa dihargai sebagai individu, tidak melihat warna kulit, agama dan asal negara, tidak dapat dipungkiri ikut menjadi alasannya.
Saya sempat berpikir, apakah sebutan dunia luar terhadap kita sebagai bangsa yang ramah, masih relevan? Apakah kita dinilai ramah oleh orang asing, padahal kita hanya ramah kepada mereka tetapi lupa terhadap bangsa sendiri?
Saya masih ingat, jika ada turis asing datang ke kampung, saya dan anak-anak kecil lainnya berlari untuk bisa menyapa mereka dengan bahasa Inggris, “Good morning, Sir!” minta bersalaman. Turis-turis pun diberikan pelayanan ekstra dengan senyum sumringah. Mereka diperlakukan selayaknya, bahkan seakan diagungkan. Mungkin dari sinilah mereka menilai kita sebagai orang-orang yang hangat.
Ironis, keramahan yang sama kerap terlupakan untuk orang dekat sendiri, terjadi di Indonesia, negara yang justru terkenal dengan berbagai aturan adat, norma kesopanan, dan ajaran-ajaran agama yang kuat dan menopang berbagai sendi kehidupan.
Memang tidak adil membanding-bandingkan dua kebudayaan yang telah terbangun berabad-abad dengan karakter dan keunikannya masing-masing. Tambah tidak adil lagi membandingkan Indonesia dengan Amerika, yang telah lama diamini dunia sebagai negara maju dari berbagai bidang.
Namun, saya yakin tetap ada celah untuk mengkritik persepsi kita tentang “budaya barat” dan “budaya timur”. Ada celah untuk mengatakan keramahan bukanlah soal timur dan barat. Keramahan bukanlah soal ras dan warna kulit. Namun, keramahan adalah wujud penghargaan manusia terhadap manusia lainnya, yang tak pandang buluh dan merata. Keramahan, yang rasanya janggal bagi saya mengakui Indonesia sebagai representasi “timur” sebenarnya, karena ada “timur” yang jauh lebih kental di “barat”-nya Amerika. ()
Sumber:
Tumblr | Rafki Hidayat.
 
Previous
Next Post »
Thanks for your comment